Globalisasi dan pengaruhnya terhadap nilai-nilai sosial
oleh : Dede kurnia
Globalisasi bukan hanya gejala abad ke 20 atau ke 21. proses ini sudah dimulai berabad abad yang lalu ketika manusia berhasil mengelilingi dunia oleh para pionir sepeti Marcopolo, Magellan, dan
Globalisasi telah menciptakan dunia yang semakin terbuka dan saling ketergantungan antarnegara dan antar bangsa. Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan hanya saling terbuka terhadap satu sama lainnya. Tetapi juga saling tergantung.
Amerika serikat dan Jepang misalnya kedua negara besar dan Negara industri maju. Keduanya memiliki investasi yang besar di seluruh dunia dan juga di kedua belah pihak. Keduanya lebih tergantung satu sama lain secara lebih simetris karena kemampuan dalam bidang finansial, sumber daya manusia, dan teknologi. Nilai mata uang dollar AS dan yen saling bersaling lebih kurang atas dasar kekuatan yang sama. Fluktuasi nilai mata uang yang satu mungkin tidak akan terlalu mempengaruhi nilai mata uang Negara lain, melainkan akan cenderung mempengaruhi nilai mata uang dan perekonomian Negara lainnya seara lebih serius, terutama nengara-negara berkembang. Misalnya krisis moneter yang diderita Negara-negara berkembang seperti
Di tenggah arus globalisasi yang menafikan solideritas dan memingirkan apa yang disebut Bourdieu “modal kultural” profesionalisme memang harus dikembalikan ke makna intinya[1]. Pasar bebas yang merupakan buah dari globalisasi, di mana kemenangan dalam persaingan lebih banyak ditentukan oleh seberapa kuat orang atau kelompok yang bermain di dalamnya. kadar ketahan yang rendah dari nengara-negara berkembang dan dengan tingginya pengaruh globalisasi atas Negara-negara ini dalam bentuk krisis moneter, finansial dan ekonomi tergantung bukan hanya pada kualitas sumber daya manusia, tetapi juga ada kelemahan fungsi lembaga-lembaga sosial, politik, ekonomi dan finansial seta pola dan kebiasaan budaya bangsa di Negara-negara tersebut, misalnya dalam hal etos kerja. Dalam kasus
Tidak kalah pentingnya adalah kenyataan bahwa globalisasi menyebabkan arus yang begitu cepat dan tidak dapat dibendung dari banyak dan beragamnya informasi. Dan arus informasi ini tidak hanya membawa pengetahua tetapi juga berbagai nilai. Apakah nilai-nilai itu bersifat negatif atau bersifat positif, dapat diterima atau tidak dapat diterima, akan bergantung sebagian pada nilai-nilai budaya dan tradisional yang telah berlaku dan dihayati di berbagai Negara berkembang. Mungkin semakin berkembangnya kebiasaan yang mengglobal dalam hal gaya hidup seperti pola berpakaian, kebiasaan makan dan kegiatan rekreasi yang semakin seragam khususnya di kalangan kaum muda di banyak Negara seperti yang disebutkan di atas tidak banyak merugikan, kecuali yang menyangkut implikasi sosial dan ekonomi Negara-negara bersangkutan.
Secara tidak langsung sebagian dari kebiasaan baru juga dapat memiliki implikasi moral. Kebiasaan konsumtif untuk mengunjungi rumah-rumah makan fast food seperti Mc Donald’s, Kentucky Fried chicken, dan sebagainya merupakan beberapa contoh, ironisnya makanan-makanan itu di Negara-negara maju seperti AS dan Inggris sring disebut sebagai junk food (makanan sampah), tetapi di Negara-negara berkembang yang masih dilanda kemiskinan makanan-makann seperti itu hanya bisa dijanglakau oleh golongan menengah yang berduit.
Yang lebih serius implikasi dan pengaruhnya adalah arus dan semakin menyebarnya nilai-nilai tertentu seperti matrealisnme, sebagaimana yang di ungkapkan oleh B Herry Priyono “ bila anda tidak punya uang, anda tidak berhak atas air atau obat. Bila anda tidak dapat membeli anda tidak berhak mendapatkan kebutuhan yang bahkan paling mendasar untuk hidup”[2], konsumerisme, hedonisme, penggunaan kekerasan dan narkoba. Jelas dapat dapat merusak moral masyarakat dan kehidupan bangsa di Negara berkembang, terutama generasi mudanya.
Negara-negara berkembang dalam hal ini mengalami dilema. Pola atau
Malasah yang diadapi Negara-negara bekembang bukanlah bagaimana melawan globalisasi, karana itu tidak mungkin dilakukan tanpa harga dan resiko yang tinggi pula. Begitu pula, kita tidak dapat bersikap a priori menolak apa saja yang datang bersama arus globalisasi, miasalnya dengan dalih itu semua adalah budaya dan nilai-nilai “ Barat” , yang serta merta dinilai sebagian “ bertentangan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya kita. Sebagian dari nilai-nilai yang dibawanya juga bersifat positif, sehingga jika perlu kita mengubah budaya kita.
[1] Kompas, selasa 18 Desember 2007
Ø Sindunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan “Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, dan Globalisasi. Kanisius: 2000
[2] ibid
[3] Abdul Azis, Aceng. Dkk. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia “Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama”. Pustaka Ma’arif NU.